Di era ledakan informasi yang kian tak terbendung, masyarakat dituntut makin cerdas memilah konten. Redaktur Pelaksana indonesia.go.id, Untung Sutomo, mengingatkan bahwa paparan berita negatif yang masif di media sosial telah menjadi ancaman serius bagi kesehatan mental dan kepercayaan publik terhadap informasi.
“Menurut survei Exploding Topical 2025, berita negatif terbukti enam kali lebih cepat menyebar dibandingkan berita positif. Jadi, kalau ada satu berita positif muncul, cukup satu isu negatif saja untuk menenggelamkannya. Ini fakta digital hari ini,” ungkap Untung Sutomo dalam sesi “IGID Menyapa” bertema Sehat Sejak Dini untuk Generasi Emas di Bali Sunset Road Convention Center, Rabu (29/10/2025).
Untung menjelaskan, kecenderungan otak manusia yang lebih peka terhadap hal negatif disebut negativity bias. “Otak kita seperti velcro untuk pengalaman negatif dan seperti teflon untuk yang positif. Informasi negatif diproses dua kali lebih cepat,” jelasnya.
Kondisi itu berdampak langsung pada psikologis masyarakat. Berdasarkan riset, 73 persen pengguna internet melaporkan stres setelah mengonsumsi berita negatif. “Hormon stres meningkat, mood menurun, bahkan bisa menyebabkan gangguan tidur dan kecemasan,” ujar Untung Sutomo.
Fenomena ini kian kuat pada generasi Z, kelompok usia yang kini mendominasi populasi pengguna internet. “Gen Z menghabiskan rata-rata 8 jam 39 menit per hari menatap layar, dengan membuka aplikasi media sosial sedikitnya 79 kali. Ironisnya, sebagian besar bukan untuk belajar atau mencari informasi produktif,” ujarnya.
Lebih jauh, Untung mengingatkan bahwa algoritma media sosial bekerja memperkuat paparan negatif hingga tiga kali lipat. “Konten yang memicu emosi tinggi dianggap menarik oleh sistem. Semakin emosional, semakin sering muncul di lini masa kita. Ini yang membuat hoaks dan misinformasi tumbuh subur,” tegasnya.
Ia menilai, masyarakat perlu memahami mekanisme tersebut agar tidak menjadi korban dari apa yang disebutnya sebagai musuh tersembunyi algoritma. “Kita terjebak dalam lingkaran stres, takut, dan kehilangan daya kritis karena terus mengonsumsi informasi tanpa saring,” tambahnya.
Untuk memutus rantai dampak negatif itu, Untung Sutomo mengajak publik terutama kalangan muda agar aktif memproduksi dan membagikan konten positif. “Batasi waktu daring, cek fakta sebelum membagikan informasi, dan gunakan sumber kredibel seperti media arus utama. Kalau soal kebijakan dan capaian pemerintah, silakan akses di indonesia.go.id, portal resmi yang dirancang untuk menyajikan informasi publik yang akurat dan mencerahkan,” katanya.
Menurutnya, literasi digital hari ini tak lagi cukup sekadar bisa membaca. “Kita harus bisa menganalisis visual, berpikir kritis, dan menyeimbangkan aktivitas daring dengan interaksi sosial di dunia nyata,” ujarnya.
Untung menutup dengan seruan optimistik: dulu ada istilah bad news is good news. Sekarang harus dibalik: good news is good news. “Karena dari sanalah kita membangun semangat bangsa yang sehat, berpikir positif, dan saling percaya,” tutupnya.









