Kementerian Sosial (Kemensos) mendorong pemberdayaan masyarakat di Papua Barat melalui strategi khusus. Yaitu, kombinasi pendekatan berbasis budaya dan data.
“Pemberdayaan masyarakat di Papua Barat harus dimulai dari penguatan peran masyarakat adat sebagai pelaku utama pembangunan sosial,” ujar Wakil Menteri Sosial (Wamensos), Agus Jabo Priyono, dalam audiensi bersama perwakilan DPD RI, dan masyarakat adat Papua Barat di Kementerian Sosial RI.
Ia menambahkan bahwa intervensi sosial berbasis budaya dan data menjadi kunci utama keberhasilan pengentasan kemiskinan di wilayah tersebut.
Wamensos Agus Jabo mengungkapkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025, Papua Barat merupakan provinsi dengan kontribusi terendah terhadap jumlah penduduk miskin di Indonesia. Sementara wilayah dengan jumlah penduduk miskin terbanyak masih berada di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Data ini menjadi landasan bagi Kementerian Sosial untuk mendorong pendekatan yang lebih kontekstual dalam pemberdayaan masyarakat, bukan semata melalui pendekatan statistik, melainkan melalui pemahaman lokal dan sosial budaya.
Salah satu bentuk intervensi yang diusung adalah Sekolah Rakyat, yang menjadi program prioritas Presiden Prabowo.
Wamensos Agus Jabo menerangkan, Sekolah Rakyat dilatarbelakangi Inpres No 8 Tahun 2025 terkait subjek kesejahteraan sosial, bukan pendidikan. Sehingga, Sekolah Rakyat tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin dan miskin ekstrem, namun juga memfasilitasi transisi dari ketergantungan bantuan sosial ke peningkatan kemandirian.
“Sekolah Rakyat adalah media pemberdayaan, bukan sekadar pendidikan. Tujuannya adalah mempercepat proses keluar dari kemiskinan melalui pendidikan karakter dan keterampilan,” jelas Wamensos Agus Jabo.
Dalam dialog yang berlangsung hangat, Charles M. Imbir dari Institusi Usba Raja Ampat menyampaikan, banyak tantangan dalam pemberdayaan masyarakat di Papua Barat. Di antaranya masih adanya gap antara kebijakan yang bersifat top-down dan kearifan lokal yang bersifat bottom-up.
“Maka penting ada ruang temu antara keduanya agar masyarakat adat tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek dari pembangunan,” terangnya.
Senada, Semuel Awon, Pimpinan Dewan Adat Wilayah III Domberay, menambahkan bahwa intervensi sosial dari pemerintah pusat harus mengakui kekhususan Papua. “Kami bukan menolak bantuan, tapi pendekatannya harus sesuai dengan struktur sosial kami. Masyarakat Papua punya kearifan dan sistem adat sendiri yang perlu dihormati,” ujarnya.
Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil dan Kewirausahaan Sosial, I Ketut Supena, turut menekankan pentingnya dialog lintas perspektif.
“Program pemberdayaan yang berhasil adalah program yang mengintegrasikan kebijakan nasional dengan realitas lokal. Itulah mengapa pendekatan kolaboratif dengan masyarakat adat menjadi sangat penting,” katanya.
Kementerian Sosial menegaskan komitmennya untuk memperkuat kolaborasi lintas aktor—termasuk masyarakat adat, pemerintah daerah, dan kementerian/lembaga lain — guna memastikan program-program penguatan kapasitas, sosial-ekonomi, dan penanggulangan kemiskinan di Papua Barat dapat berjalan secara inklusif dan berkelanjutan.
Post Views: 50