Budaya

“Urip Iku Urup”: Menyalakan Peran Humas Pemerintah dalam Mewarnai Kemerdekaan

8
×

“Urip Iku Urup”: Menyalakan Peran Humas Pemerintah dalam Mewarnai Kemerdekaan

Sebarkan artikel ini

 

Oleh: Zainal Muttaqin (Kepala Bagian Humas, Biro Adpim Setda Prov Jatim)

 

“Urip iku urup” adalah falsafah Jawa warisan Sunan Kalijaga, menyimpan pesan kehidupan yang begitu dalam, bahwa hidup itu harus menyala. Menyala bukan untuk membakar, tetapi untuk memberi terang dan kehangatan. Dalam konteks kekinian, terlebih dalam bidang komunikasi publik, falsafah ini memiliki relevansi yang sangat kuat dengan peran strategis Humas Pemerintah. Ia menjadi simbol bagaimana peran Humas bukan sekadar eksis dalam struktur birokrasi, tetapi hidup untuk menghidupkan: menyuarakan, menyatukan, dan menguatkan rakyat dalam semangat kebangsaan.

 

Tahun 2025 ini, bangsa Indonesia merayakan 80 tahun kemerdekaan dengan mengusung tema: “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”. Tema ini mencerminkan arah pembangunan nasional yang menitikberatkan pada konsolidasi kebangsaan, kedaulatan bangsa, dan kemajuan bersama. Dalam semangat itu, peran Humas Pemerintah menjadi sangat vital sebagai pencerah narasi kebangsaan dan penyambung antara negara dan rakyat.

 

Di tengah gegap gempita peringatan 80 tahun kemerdekaan RI, peran Humas Pemerintah menjadi kian strategis sebagai penjaga narasi kebangsaan dan penguat kohesi sosial. Menariknya, falsafah Jawa “urip iku urup” juga kembali digaungkan oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa saat melepas Tim Wanala UNAIR dalam Ekspedisi 80 Gunung Arjuno. Melalui pesan khas yang sarat makna, Gubernur Khofifah menekankan pentingnya hidup yang memberi manfaat: hidup yang menyala untuk orang lain. Wejangan itu bukan sekadar pesan motivasi, melainkan ajakan untuk menyalakan api pengabdian, kepedulian lingkungan, dan semangat kebangsaan dalam bingkai peringatan kemerdekaan. Sebuah contoh nyata bagaimana falsafah leluhur dapat menginspirasi aksi nyata yang relevan dengan tantangan masa kini.

 

Humas Pemerintah: Profesi Komunikasi yang Hidup

 

Jika komunikasi adalah jantung organisasi, maka Humas adalah denyut nadinya. Dalam konteks pemerintahan, humas tidak cukup hanya berperan sebagai penyampai pesan atau juru bicara kebijakan. Ia harus hadir sebagai penghubung empatik yang menghidupkan interaksi antara pemerintah dan masyarakat. Humas Pemerintah yang menghidupi falsafah “urip iku urup” adalah mereka yang tidak bekerja hanya karena jabatan, melainkan karena kesadaran bahwa setiap pesan yang disampaikan harus memberi manfaat, arah, dan harapan.

 

Pekerjaan Humas bukanlah kerja sunyi yang tak bermakna. Justru ia berada di ruang-ruang strategis untuk menjaga kepercayaan publik. Humas yang “urup” adalah humas yang sadar bahwa tugasnya adalah menyalakan api kepercayaan di tengah banjir informasi, menyinari publik dengan transparansi, dan menghangatkan hubungan pemerintah dengan rakyat melalui komunikasi yang etis dan autentik.

Baca Juga :  Wagub Emil Apresiasi BKPRMI Jatim Berperan Strategis Dalam Pembinaan Generasi Muda

 

“Urip Iku Urup” sebagai Prinsip Etik Komunikasi Publik

 

Nilai luhur dari “urip iku urup” jika ditarik dalam etika komunikasi publik, mengajarkan tiga hal utama yang menjadi pijakan kerja Humas Pemerintah:

 

  1. Memberi Terang, artinya dalam situasi darurat informasi atau krisis, humas menjadi cahaya yang menerangi. Ia harus hadir memberikan klarifikasi, menjernihkan miskomunikasi, dan menjaga agar publik tidak terjebak dalam hoaks atau manipulasi informasi.
  2. Menghangatkan Relasi Sosial, maknanya humas bukan hanya soal informasi, tapi juga relasi. Kehadirannya harus mampu mendekatkan pemerintah dengan warganya. Di sinilah pentingnya komunikasi yang humanis, tidak kaku, dan tidak birokratis.
  3. Membakar Semangat Publik, melalui komunikasi yang inspiratif dan solutif yang akan membangkitkan partisipasi publik. Humas menjadi pemantik, bukan hanya penyampai. Dalam hal ini, humas menyalakan api optimisme dan gotong royong untuk membangun bangsa.

 

Mengisi Kemerdekaan dengan Komunikasi yang Mencerahkan

 

Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah usia yang matang bagi sebuah bangsa. Namun, kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, melainkan ruang yang harus terus diisi dengan kerja, kolaborasi, dan ketulusan. Di sinilah Humas Pemerintah mengambil peran: mengisi kemerdekaan dengan narasi yang tidak hanya informatif tetapi juga membangun kesadaran kolektif.

 

Humas memiliki tanggung jawab untuk menarasikan capaian pembangunan, menjelaskan arah kebijakan, dan membumikan nilai-nilai kebangsaan ke dalam bahasa yang bisa dipahami oleh masyarakat luas. Ketika program pembangunan hanya dipahami secara teknokratis, maka humas hadir sebagai penerjemah, yang menjembatani logika birokrasi dengan logika publik.

 

Kehadiran humas dalam peringatan HUT ke-80 RI ini penting bukan hanya dalam konteks publikasi acara, tetapi dalam menghidupkan makna kemerdekaan. Komunikasi yang dilakukan harus mampu mengajak rakyat merasa memiliki kemerdekaan itu. Merdeka bukan sekadar peringatan tahunan, tapi rasa bahwa suara rakyat didengar, kepentingan mereka diutamakan, dan masa depan mereka diperjuangkan.

 

Humas sebagai Penguat Nilai Persatuan dan Kedaulatan

 

Dalam tema besar “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”, dimensi persatuan dan kedaulatan menjadi fondasi. Persatuan tidak lahir dari seruan kosong, tapi dari komunikasi yang merangkul semua lapisan. Di sinilah tugas humas menyalakan nilai inklusivitas, bahwa negara hadir untuk semua, bukan untuk sebagian.

Baca Juga :  Jatim Dikukuhkan 100% Bebas Perilaku Buang Air Besar Sembarangan, Gubernur Khofifah Optimis Jadi Pelopor Transformasi Sanitasi Nasional

 

Sementara itu, kedaulatan tidak hanya dimaknai sebagai kedaulatan politik atau ekonomi, tetapi juga kedaulatan informasi. Humas harus memastikan bahwa pemerintah menguasai narasi publik melalui komunikasi yang terencana, terukur, dan terpercaya. Dalam era digital, kedaulatan informasi menjadi instrumen penting untuk menjaga stabilitas bangsa. Tanpa peran humas yang aktif, ruang publik akan dikuasai oleh pihak-pihak yang belum tentu berpihak pada kepentingan nasional.

 

Humas dan Tanggung Jawab Menuju Indonesia Maju

 

Kemajuan bangsa bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi, tetapi juga soal kemajuan peradaban, budaya, dan cara kita berkomunikasi sebagai bangsa yang besar. Humas yang “urup” adalah mereka yang mampu menyulut kesadaran kolektif bahwa kemajuan harus diisi dengan peran aktif setiap warga negara. Melalui media sosial, press release, dialog publik, forum pengembangan kompetensi, dan berbagai saluran lainnya, humas dapat menjadi jembatan untuk membangun optimisme nasional.

 

Humas juga harus melek terhadap perkembangan teknologi dan media baru. Mengisi kemerdekaan di era digital menuntut humas untuk adaptif terhadap algoritma, visualisasi data, serta pendekatan komunikasi berbasis empati dan storytelling. Di tengah era kecerdasan buatan dan disrupsi informasi, nilai-nilai luhur seperti “urip iku urup” justru menjadi jangkar moral agar komunikasi publik tetap bermartabat.

 

Gubernur Khofifah Menyalakan Ekspedisi Gunung Arjuno

 

Dalam momentum pelepasan Tim Ekspedisi 80 Gunung Arjuno, lebih jauh lagi Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga menyampaikan pesan yang sederhana namun menggetarkan: “Urip iku urup.” Wejangan Sunan Kalijaga ini dihidupkan kembali untuk menginspirasi para anggota Wanala UNAIR agar menjadikan hidup bukan sekadar ada, tetapi menyala, menyinari dan menghangatkan sekitar. Ekspedisi ini bukan hanya tentang menaklukkan puncak, tetapi menyalakan semangat pengabdian. Para peserta tidak hanya membawa bendera Merah Putih, tapi juga membawa misi pelestarian lingkungan dengan menanam pohon cemara dan eukaliptus di lereng Arjuno, menandai bahwa cinta tanah air juga berarti menjaga bumi tempat kita berpijak.

 

Gubernur Khofifah menekankan bahwa yang ditanam bukan sekadar pohon, tetapi harapan. Harapan akan mata air baru, udara bersih, dan masa depan yang lestari. Inilah contoh nyata komunikasi publik yang menginspirasi, mengawinkan nilai budaya, semangat kebangsaan, dan kepedulian ekologis dalam satu langkah bersama. Dalam ekspedisi ini, kita menyaksikan bagaimana falsafah Jawa tidak sekadar jadi hiasan pidato, melainkan menyatu dalam aksi. Dan dari sana, api pengabdian dinyalakan, menjadi pelita yang terus hidup, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk generasi yang akan datang.

Baca Juga :  Sabet Lima Penghargaan Nasional dari BKN, Gubernur Khofifah Optimis Pemprov Jatim Jadi Role Model dan Menuju Lumbung Talenta Nasional

 

Dari Kearifan Nusantara Menuju Peradaban Global

 

“Urip iku urup” bukan sekadar pepatah local yang usang, melainkan kearifan Nusantara yang relevan lintas ruang dan zaman. Di tengah dunia yang semakin maju secara teknologi namun kerap hampa dalam relasi antarmanusia, falsafah ini menawarkan nilai dasar: kehangatan, kebermanfaatan, dan ketulusan. Dalam konteks relasi antara pemerintah dan rakyat, urip iku urup menjadi pengingat bahwa komunikasi yang baik bukan hanya soal kepiawaian menyusun kata, tetapi soal kejujuran dan niat tulus dalam menyampaikan kebenaran.

 

Bagi humas pemerintah, kearifan ini menjadi panduan moral yang tak lekang oleh waktu. Setiap pesan yang dikomunikasikan, setiap data yang disampaikan, dan setiap narasi yang dibentuk harus berangkat dari empati dan keberpihakan pada kepentingan publik. Dunia mungkin terhubung secara digital, tetapi yang paling dikenang adalah komunikasi yang menyentuh nurani. Dan dari situlah, kearifan lokal kita tidak hanya membumi, tetapi juga mampu menjangkau cakrawala global sebagai kontribusi Indonesia dalam membangun peradaban yang lebih manusiawi.

 

Saatnya Humas Menyala Lebih Terang

 

Di momen peringatan 80 tahun kemerdekaan, humas pemerintah di seluruh level, dari pusat hingga daerah, diingatkan kembali pada falsafah luhur ini: “Urip iku urup”. Hidup adalah tentang kebermanfaatan. Tugas humas adalah tentang pengabdian. Nilai ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lain” (HR. Ahmad). Hadits ini menjadi penguatan spiritual bahwa keberadaan seseorang, termasuk profesi humas, haruslah memberi dampak positif, bukan sekadar hadir, apalagi hanya formalitas jabatan.

 

Kini saatnya humas tidak sekadar hadir di balik meja kerja, tetapi hadir di tengah denyut rakyat. Tidak sekadar mengabarkan, tetapi menggerakkan. Tidak sekadar menjelaskan, tetapi menyalakan semangat kolektif. Karena bangsa yang besar bukan hanya dibangun oleh para pemimpin dan pengambil kebijakan, tapi juga oleh mereka yang setiap hari menyalakan semangatnya dari balik layar: para humas yang bekerja dalam senyap namun berdampak.

 

“Urip iku urup”, mari hidup dengan menyala, dan terus menyulut nyala kemerdekaan untuk Indonesia yang bersatu, berdaulat, sejahtera, dan maju. Dirgahayu Indonesia, Merdeka!