Dinamika pangan di Jepang belakangan ini menjadi sorotan. Pengunduran diri Menteri Jepang, Taku Eto, dan penanganan pemerintah terhadap krisis beras menjadi perhatian publik.
Prima Gandhi, Mahasiswa Doktoral Ekonomi Pertanian Tokyo University of Agriculture, sekaligus Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang, menjelaskan bagaimana gejolak yang terjadi di Jepang hingga berujung pada pengunduran diri Menteri Jepang Taku Eto.
“Harga beras saat ini naik 100 persen dibandingkan waktu yang sama tahun lalu. Menyikapi mahalnya harga beras di pasaran, pemerintah Jepang pada awal Maret 2025 telah melepaskan cadangan beras nasional ke pasar. Biasanya, tindakan ini hanya dilakukan setelah bencana alam. Namun, hingga Mei 2025 belum terlihat dampak positif dari pelepasan beras cadangan pemerintah ini,” kata Prima Gandhi dalam keterangannya pada Kamis (22/5/2025).
Prima Gandhi juga menyoroti pengunduran diri Menteri Pertanian, Taku Eto, pada 21 Mei 2025, imbas pernyataannya yang kontroversial di tengah kenaikan harga beras. Taku Eto mendapat kritik dari masyarakat luas dan anggota parlemen Jepang karena dianggap tidak sensitif di tengah mahalnya harga beras serta ketidakpuasan publik terhadap penanganan pemerintah atas lonjakan harga beras.
Prima Gandhi yang juga merupakan dosen IPB University, mengemukakan bahwa kenaikan harga beras di Jepang disebabkan oleh kombinasi faktor, mulai dari penurunan hasil panen akibat perubahan iklim, peningkatan permintaan dari sektor pariwisata dan restoran, hingga kendala distribusi yang dipengaruhi oleh persoalan demografi dan logistik. Pemerintah Jepang pun telah melepas cadangan beras nasional ke pasar, namun distribusinya masih menghadapi tantangan tersendiri.
Meski Jepang dikenal dengan sistem pertanian yang maju dan efisien, tantangan perubahan iklim dan penuaan populasi petani menjadi isu yang semakin nyata. Peristiwa ini menjadi refleksi penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk terus memperkuat ketahanan pangan secara menyeluruh.
Prima Gandhi mengungkapkan bahwa kondisi Indonesia lebih beruntung dari Jepang. Kekuatan geografis Indonesia memungkinkan pertanaman 3-4 kali setahun, dibandingkan dengan Jepang yang hanya menanam satu kali setahun. Perbedaan jumlah musim tanam padi menyebabkan perbedaan produksi beras. Data USDA mencatat jumlah produksi beras Jepang dan Indonesia pada 2023 secara berurutan sejumlah 7,48 juta ton dan 34 juta ton.
Selain itu, Prima Gandhi menyampaikan bahwa upaya pemerintah Indonesia juga mempunyai andil besar dalam menjaga stabilitas pangan terutama beras. Mulai dari upaya peningkatan produksi nasional, perluasan lahan tanam, regulasi pupuk subsidi yang lebih baik, pendistribusian alat dan mesin pertanian, pembelian gabah sesuai harga pembelian pemerintah (HPP), hingga penguatan cadangan beras pemerintah (CBP).
”Kita patut mengapresiasi langkah lembaga pangan seperti Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional, dan Bulog yang melakukan berbagai langkah strategis untuk memastikan stok beras nasional mencukupi kebutuhan masyarakat dalam rangka menjaga stabilitas dalam negeri,” ungkapnya.